Tahun sebelumnya, cuaca ekstrem berkontribusi besar terhadap naiknya jumlah penderita DBD.
Tahun ini memang lebih terkendali, namun risiko tetap ada, terutama di kawasan padat penduduk dan lingkungan yang kebersihannya kurang terjaga.
“Tahun lalu adalah tahun dengan siklus cuaca ekstrem. Tahun ini memang lebih rendah, tapi masih dalam kondisi yang perlu diwaspadai,” ungkapnya.
Salah satu hal yang kerap disalahpahami oleh masyarakat adalah anggapan bahwa fogging atau pengasapan adalah solusi utama.
Padahal, menurut Adang, tindakan fogging hanya bersifat sementara dan dilakukan jika telah ditemukan kasus positif serta jentik nyamuk di lokasi tersebut.
“Fogging itu bukan solusi utama. Itu langkah terakhir. Kami hanya akan lakukan fogging fokus setelah dilakukan Penyelidikan Epidemiologi (PE) dan ditemukan kasus positif serta jentik Aedes aegypti,” tegasnya.
Penggunaan insektisida secara berlebihan, lanjut Adang, justru bisa menimbulkan resistensi pada nyamuk.
Artinya, jika fogging dilakukan sembarangan, nyamuk bisa menjadi kebal terhadap bahan kimia tersebut. Ini tentu akan menyulitkan upaya pengendalian di masa depan.
Oleh karena itu, pendekatan yang lebih efektif adalah dengan mendorong masyarakat melakukan PSN secara rutin dan konsisten.
Pemeriksaan tempat-tempat yang berpotensi menjadi sarang nyamuk harus dilakukan minimal satu minggu sekali.
Peran Aktif Puskesmas dan Kader Kesehatan
Dinkes Kabupaten Bogor telah mengaktifkan peran Puskesmas dan kader kesehatan di berbagai wilayah untuk melakukan edukasi langsung ke masyarakat.
Sejak akhir tahun lalu, para kader telah turun ke lapangan, menyosialisasikan pentingnya PSN, serta membagikan panduan sederhana untuk mencegah DBD dari rumah masing-masing.
Langkah ini dinilai lebih efektif dibanding metode teknis seperti fogging, karena menyentuh langsung kesadaran masyarakat.
Kampanye PSN juga dilakukan melalui kegiatan rutin seperti Jumsih, kerja bakti warga, serta edukasi di sekolah dan tempat ibadah.