Berbagai penelitian baik nasional maupun internasional menyatakan bahwa salah satu penyebab utama maraknya tindakan intoleransi dan persekusi di masyarakat adalah keberadaan hukum pidana penghinaan agama, yang masih ada dalam RKUHP.
Tumpang Tindih Pengaturan Hukum
Pengaturan pidana terkait perusakan seperti pembakaran tempat ibadah, barang-barang yang digunakan untuk ibadah, dan perusakan benda suci keagamaan dalam Pasal 318 ayat 2 dan Pasal 503 ayat 1 RKUHP merupakan pengaturan hukum yang berlebihan, tumpang tindih, dan tidak perlu. Jika ada tindakan pembakaran, pencurian, atau perusakan, seharusnya mengacu pada pasal pidana umum yang mengatur tindakan tersebut.
Selain itu, tidak ada batasan yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan "barang-barang yang digunakan untuk ibadah" atau "benda suci keagamaan." Hal ini dapat menimbulkan beragam interpretasi dan penyalahgunaan dalam penerapan hukum.
Formulasi dan inklusi delik-delik pidana keagamaan dalam Pasal 313-318 dan Pasal 503 ayat 1, serta penerapan pasal hukum tidak tertulis yang berlaku di masyarakat, menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR-RI masih menganut semangat pemidanaan populis yang menyatakan bahwa semua perbuatan yang dianggap "tidak baik" harus dipidana. Semangat ini jauh dari semangat keadilan restoratif, karena malah menyebabkan overkriminalisasi (peningkatan pemidanaan yang berlebihan).
Padahal, pemidanaan terhadap suatu perbuatan dan pelakunya tidak selalu dapat menyelesaikan akar masalah yang ada di masyarakat. Hal ini pada akhirnya hanya menciptakan ketakutan di masyarakat dan membatasi kebebasan individu dalam melakukan aktivitas seperti biasa.
Selain itu, akibat situasi overkriminalisasi adalah peningkatan jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan (Lapas) yang padat, serta beban anggaran negara untuk memenuhi kebutuhan penghuni Lapas. Akibatnya, negara dirugikan secara finansial dan non-finansial dengan menerapkan ketentuan-ketentuan RKUHP yang bermasalah ini.
Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan berpendapat bahwa dalam draft RKUHP, terdapat kurangnya keterlibatan dan proses perumusan bersama dengan kelompok masyarakat sipil yang fokus pada isu kemerdekaan beragama dan lembaga keagamaan.
Tim Perumus dan DPR-RI merumuskan dan membahas RKUHP terkait pidana keagamaan tanpa memahami situasi dan kebutuhan yang sebenarnya di lapangan, yang seringkali dihadapi oleh kelompok masyarakat sipil dan lembaga keagamaan.
Penolakan terhadap draft RKUHP yang bermasalah ini juga terus ditekankan oleh Aliansi Nasional untuk Reformasi KUHP. Oleh karena itu, Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan mendesak Pemerintah RI dan DPR-RI untuk:
1. Meninjau ulang dan memperbaiki ketentuan:
a) delik pidana keagamaan (Pasal 313 hingga Pasal 318, Pasal 503 ayat 1 RKUHP)
b) ketentuan hukum yang hidup di masyarakat (Pasal 2 ayat 1 dan 2 RKUHP)
Hal-hal tersebut berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan hukum, intoleransi, konflik, dan persekusi.
2. Melibatkan kelompok masyarakat sipil yang fokus pada isu kemerdekaan beragama dan lembaga-lembaga keagamaan dalam merumuskan delik-delik yang berkaitan dengan perlindungan umat beragama, seperti perlindungan kemerdekaan beragama, perlindungan dari ujaran kebencian berbasis agama, perlindungan dari tind
akan persekusi dan kekerasan atas nama agama, dan sebagainya.
3. Jika tidak ada perbaikan pada pasal-pasal RKUHP yang disebutkan di atas, sebaiknya Pemerintah RI dan DPR-RI menunda pengesahan RKUHP untuk waktu yang tidak ditentukan sampai terbentuknya tim perumus independen yang melibatkan semua pihak secara partisipatif.