umum

Kemendikbud Sebut Pendidikan Tinggi Bukan Kewajiban, Warganet dan DPR: Orang Miskin Dilarang Kuliah?

Minggu, 19 Mei 2024 | 12:39 WIB
Ilustrasi - Tanggapan Warganet dan DPR soal Dirjen Dikti bicara soal perkuliahan. (Pixabay)

AYOBOGOR.COM – Sekretaris Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kemendikbud-Ristek Tjitjik Sri Tjahjandarie menyebut pendidikan tinggi sebagai pendidikan tersier sehingga bersifat pilihan bukan wajib.

Sri menambahkan, jika pemerintah fokus memberikan bantuan anggaran untuk program wajib 12 tahun yaitu untuk jenjang SD sampai dengan SMA/SMK.

Sehingga bantuan anggaran untuk pendidikan tinggi tidak sebanyak seperti jenjang-jenjang tersebut.

Lebih lanjut, Sri menyampaikan jika bantuan anggaran pendidikan tinggi dibantu oleh Biaya Operasional Perguruan Tinggi (BOPTN) yang belum bisa menutup seluruh kebutuhan operasional sehingga pendidikan tinggi di Indonesia belum bisa gratis.

Pendapat Sri tersebut pun langsung mendapatkan tanggapan dari Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Syaiful Huda.

Baca Juga: Hore! Ada Bansos PKH Senilai Rp 650 Ribu Masuk Rekening KPM Wilayah Jawa Barat, Sudah Cek Saldo Sekarang? Siapa Tahu Anda Dapat

Syaiful menunjukkan keprihatinannya terhadap pendapat Sri tersebut dan pendapat Sri disebut dinilai olehnya semakin menebalkan persepsi jika orang miskin dilarang kuliah.

Syaiful menambahkan, pendapat Sri tersebut menunjukkan bahwa kampus itu elite dan hanya untuk mereka yang mempunyai uang untuk membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT).

Apalagi seperti diketahui, bahwa sebelumnya banyak mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang melakukan aksi protes terhadap kenaikan UKT dan pihak perguruan tinggi terlihat seolah enggan menurunkan atau membuat UKT tetap pada nominal yang sama seperti sebelumnya.

Akhirnya, ia menilai jika pendapat Sri dinilai kurang tepat disampaikan sebagai pejabat yang mengurus pendidikan tinggi.

Pendapat Sri juga dinilai olehnya jika pemerintah itu seolah bertindak lepas tangan terhadap kenaikan UKT yang terjadi di beberapa pendidikan tinggi yang sangat berdampak pada masyarakat yang tidak mampu.

Padahal pemerintah sudah gencar ingin mewujudkan generasi emas yang akan terjadi pada tahun 2045 dengan memanfaatkan bonus demografi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia masih berada di angka 31,45 persen.

Angka ini tertinggal dari negara di Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia sebesar 43 persen, Thailand sebesar 49 persen, dan Singapura sebesar 91 persen.

Halaman:

Tags

Terkini