Berdasarkan ketentuan tersebut, seluruh umat Muslim di seluruh dunia seharusnya berpuasa bersamaan dengan orang yang berwukuf.
"Jadi, jika di Saudi Arabia sedang berwukuf sekarang, kita akan berpuasa pada hari itu. Jelas, itu jika tidak menggunakan kata 'Yaum'," jelas Ustadz Adi Hidayat.
Baca Juga: Bansos BPNT Tahap 3 Mei-Juni 2023 Tidak Cair? Ini Cara Melapor, Bisa Lewat WhatsApp
"Tetapi jika menggunakan kata 'Yaum', 'Yaum' tersebut disebut 'Dzor fuzzaman', yaitu huruf yang mengaitkan sesuatu pada waktunya, bukan momennya, yang menunjukkan pada waktu," lanjutnya.
Jadi, Yaum di hadis ini ingin menegaskan bahwa puasa ini dilakukan bukan untuk mengikuti momennya, tetapi untuk mengikuti waktu yang ditentukan.
Namun, Ustadz Adi Hidayat juga memberikan penjelasan lain terkait pelaksanaan puasa arafah.
Baca Juga: Persiapan Nonton Rex Orange County di Jakarta, Cek Harga Tiket Terbaru
"Istilah 'waktu orang berwukuf jatuh pada tanggal berapa, tanggal 8 atau 9?' Tanggal 9. Jadi orang-orang yang berwukuf pada tanggal 9 Dzulhijjah," ungkap Adi Hidayat.
Jadi, jika di suatu tempat, daerah, atau negara sudah mencapai tanggal 9 Dzulhijjah, meskipun berbeda dengan waktu berwukuf di Arab Saudi saat ini, maka mereka harus melaksanakan puasa arafah.
"Jadi, puasa arafah jatuh pada tanggalnya, bukan pada momen berwukuf. Jelas, yang harus diikuti adalah waktu di tempat tertentu," jelas Ustadz Adi Hidayat.
"Kalian menghitungnya di Jakarta selama 4 jam, di Papua selama 6 jam. Indonesia memiliki luas dari Sabang hingga Merauke, begitulah. Masya Allah," sambungnya.
Kata Ustadz Adi Hidayat, ketika Saudi Arabia menetapkan tanggal 9 Dzulhijjah, misalnya, Maghrib di Saudi Arabia jam 7, di Papua jam berapa? Jam 1. Sudah siang di Papua. Bahkan sebagian wilayah memiliki perbedaan waktu.
"Masalahnya, misalnya jika Saudi duluan. Saudi Arabia sudah tanggal 9 Dzulhijjah, sementara di sini belum. Itu bisa terjadi," pungkasnya.