AYOBOGOR.COM - Polemik mekanisme usulan penetapan penerima bansos baru hasil musyawarah desa atau kelurahan atau sejenisnya. DPR menilai semakin tak tepat sasaran dan mudah dimanipulasi.
Melansir dari kanal youtube Arfan Saputra Channel, beberapa minggu lalu Kementrian Sosial mengumumkan tata cara pengusulan penetapan penerima bantuan sosial baru. Terdapat dua cara untuk mengusulkan siapa yang layak mendapat bantuan sosial dari pemerintah.
Salah satunya melalui musyawarah desa atau kelurahan yang diadakan setidaknya satu kali dalam tiga bulan. Dimana para aparatur pejabat desa atau kelurahan mengadakan musyawarah untuk menentukan warganya yang akan diajukan ke pusat untuk menerima bansos.
Baca Juga: Update Bansos BPNT Tahap 3 Periode Mei-Juni Via KKS BNI Mulai Cair Bertahap Khususnya Jawa Barat
Data hasil musyawarah desa atau kelurahan tersebut selanjutnya disahkan oleh Bupati atau Wakil Bupati atau Walikota atau Wakil Walikota atau Sekda atas nama Bupati atau Wakil Bupati. Untuk selanjutnya dikirimkan ke pemerintah pusat untuk diverifikasi dan diputuskan layak atau tidak mendapat bantuan sosial.
Tujuan kebijakan mekanisme baru pengusulan penetapan penerima bansos ini adalah untuk meminimalisir tindakan kecurangan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya keluhan bahwa selama ini banyak penerima bansos yang tidak tepat sasaran atau tidak objektif.
Seperti penerima bantuan sosial hasil usulan orang-orang terdekat pejabat daerah atau bahkan pejabat itu sendiri yang mengusulkan dirinya sendiri. Namun kebijakan baru ini justru dinilai sangat rawan oleh anggota Komisi Delapan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI).
Salah satu anggota Komisi Delapan DPR RI menyampaikan terkait masalah ini dalam rapat dengar pendapat dengan Eselon Satu Kemensos. Rapat dengar pendapat tersebut dilangsungkan beberapa hari lalu membahas pendahuluan RAPBN 2025.
Anggota Komisi Delapan tersebut menjelaskan sebelum adanya mekanisme baru pengusulan penetapan penerima bansos saja sudah banyak kecurangan. Banyak yang tidak tepat sasaran karena fakta di lapangan penentu penerima bansos adalah Kepala Desa atau Lurah.
Kemensos dinilai tidak memiliki kuasa dalam penentuan penerima bantuan sosial melainkan para pemimpin daerah ini. Salah satu contohnya adalah tetangga anggota komisi delapan ini yang ketika pemilihan kepala desa, ia tidak memilih kepala desa terpilih.
Akibatnya status sebagai penerima bansosnya dihentikan oleh kepala desa terpilih tersebut. Padahal warga tersebut layak menerima bansos karena berstatus lansia dan memenuhi persyaratan sebagai penerima bansos.
Hal inilah yang dinilai oleh anggota komisi delapan tersebut yang akan semakin menguatkan tindak kecurangan oleh aparat desa atau kelurahan. Kemensos diharapkan dapat menetapkan kebijakan yang lebih dapat mengurangi tindakan kecurangan ini.