Viral Tagar All Eyes On Papua di Media Sosial, Apa Artinya? Begini Tanggapan Kapolda

photo author
- Kamis, 6 Juni 2024 | 05:52 WIB
Ilustrasi poster All Eyes on Papua (X atau Twitter)
Ilustrasi poster All Eyes on Papua (X atau Twitter)

Pada tahun 2022, izin usaha pada PT Sorong Agro Sawitindo dicabut oleh pemerintah. PT SAS yang tidak terima pun mengajukan gugatan balasan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Suku Moi Sigin yang tidak terima juga turut mengajukan gugatan balasan kembali ke PTUN Jakarta dan kemudian berlanjut sampai ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung.

Akhirnya, pada 27 Mei 2024, para pejuang lingkungan hidup dari kedua suku melaksanakan doa dan ritual di depan Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta Pusat dengan mengenakan busana khas dari suku masing-masing.

Tak hanya itu, Hendrikus juga menyampaikan bahwa ia bersama para Suku Awyu datang jauh-jauh ke Mahkamah Agung dengan biaya yang tidak sedikit demi bisa mendapatkan hak-hak mereka.

Di sisi lain, Fiktor Klafiu selaku perwakilan masyarakat adat Moi Sigin juga meminta agar hak-hak mereka bisa kembali yaitu mendapatkan hutan adat mereka karena ini merupakan sumber kehidupan mereka.

Jika hutan ini diambil atau ditiadakan maka mereka bisa kehilangan sumber kehidupan mereka.

Sementara itu, Asep Komaruddin selaku Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia menegaskan agar pemerintah bisa mengembalikan hutan adat kepada milik aslinya yaitu Suku Awyu dan Moi.

Menurut Asep, keberadaan perkebunan sawit bisa merusak hutan yang menjadi sumber penghidupan, budaya, dan pengetahuan masyarakat adat Suku Awyu dan Moi.

Selain itu, menurutnya ada tiga kerugian dengan hadirnya perkebunan sawit ini yaitu hilangnya ruang hidup bagi masyarakat adat, kehilangan biodiversitas endemik Papua, dan peningkatan emisi karbon yang dapat memperparah krisis iklim.

Menurut Uli Arta Siagian selaku Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional konflik ini sebagai bukti jika pemerintah kurang bisa menghormati terhadap hak masyarakat adat.

Uli juga menyebut mengenai Free dan Prior Informed Consent (FPIC) yang tidak dilakukan oleh perusahaan.

Padahal ini merupakan penerbitan syarat izin lingkungan yang harus dipenuhi oleh perusahaan yang salah satunya bagi perusahaan yang ingin membuka perkebunan sawit.

Perlu diketahui, Free dan Prior Informed Consent adalah persetujuan yang dilakukan oleh perusahaan dengan masyarakat lokal atau masyarakat adat sebelum dimulainya proyek pembangunan di lokasi yang bisa berdampak pada tempat tinggal, mata pencaharian, hingga cara hidup tradisional masyarakat adat.

Sebagai penutup, Uli menyampaikan harapannya agar tagar All Eyes on Papua ini bisa mengubah keputusan pengadilan atau kebijakan pemerintah baik di tingkat nasional maupun daerah.

Selain itu, Uli juga berharap agar Mahkamah Agung dapat menjatuhkan putusan hukum yang bisa melindungi hutan adat dari ancaman perusahaan sawit.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Akbar Hari Mukti

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X