AYOBOGOR.COM - Belakangan ini ramai pembahasan tentang perilaku predatory pricing dalam perdagangan.
Hal ini dikaitkan dengan fitur jual beli TikTok Shop dari platform media sosial buatan China, TikTok.
Bahkan dugaan perilaku predatory pricing oleh TikTok Shop sampai membuat Presiden Joko Widodo geram karena berdampak buruk pada penjualan di pasar tradisional dan UMKM.
Setelah itu, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan melalui Permendag Nomor 31 Tahun 2023 melarang praktik TikTok Shop.
Dalam satu kesempatan, Zulhas, sapaan Mendag RI, mengungkapkan praktik predatory pricing pada TikTok Shop.
Praktik itu seperti penurunan harga yang jauh dari harga pasar untuk menggaet banyak pembeli, namun di satu masa harganya kembali dinormalkan.
"Jadi grosir beli, harga Rp 7 ribu. Di online jual di TikTok itu jual Rp 4 ribu. Itu namanya predatory pricing," ujar dia, dikutip dari Suara.com, Jumat, 29 September 2023.
Di dunia bisnis, predatory pricing merupakan istilah lama dan digunakan sebagai salah satu strategi penjualan.
Kendati begitu, pemerintah Indonesia sudah jauh-jauh hari menyinggung hal ini, karena berkaitan dengan praktik monopoli.
Hal ini seperti disinggung dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pada Pasal 20 UU tersebut, dikemukakan:
"Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau memastikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat."
Menyadur "Al-Manhaj: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam Vol. 4, 2" yang diterbitkan Desember 2022, dijelaskan tentang keuntungan yang didapatkan pelaku predatory pricing.
Keuntungan itu didapatkan lewat penurunan harga. Namun setelah pesaing 'gugur', maka pelaku akan menggunakan harga yang tinggi.