Seorang kandidat atau paslon kepala daerah yang berbaju jurnalis akan menikmati keuntungan bila bertarung dalam Pilkada.
Demikian juga wartawan yang menjadi tim sukses. Ia bisa menggunakan bahandan informasi yang dimilikinya untuk memojokkan paslon lawan atau juga sekadar mengolah informasi yang disebarluaskannya hanyalah berupa berita yang menguntungkan pihaknya sendiri.
Seorang wartawan yang memiliki posisi strategis dalam newsroom juga bisa mendesain angle, memilih narasumber, mengedit pernyataan dan lain-lain yang akan menghasilkan pemberitaan yang sarat dengan konflik kepentingan dengan profesi artaan yang semestinya membela kepentingan publik dan bahkan kerap harus berposisi sebagai public watch dog atau jurnalis pengawas.
Karena itulah, seperti halnya ASN, TNI, dan Polri, wartawan perlu membersihkan diri agar tak memiliki konflik kepentingan dalam menyampaikan laporan dan pemberitaan terkait Pilkada dan Pemilu.
Dalam survei yang dilansir Edelman dan juga The Economist, profesi wartawan di Indonesia sesungguhnya adalah profesi yang masih dihormati dan publik masih menaruh kepercayaan yang tinggi pada profesi ini.
Yang pasti wartawan atau jurnalis tidak bisa terlibat politik langsung bila masih menjadi bagian jurnalisme.
Lalu bagaimana dengan pemilik media massa yang terjun ke politik?
Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Yadi Hendriana, pernah mengatakan tidak masalah terkait fenomena pemilik media massa terjun ke dunia politik.
Hal itu lantaran terjun ke dunia politik merupakan hak setiap orang, termasuk para pemilik media.
Yadi juga menekankan hal lebih penting adalah bagaimana pemilik media tersebut dapat menjaga independensi konten yang dihasilkan dan bisa membuat citra pers menjadi lebih baik.
Pers juga tidak bisa menyebarkan pemberitaan bersifat provokatif sampai memancing kerusuhan hingga media massa hanya untuk kepentingan pribadi.