berita-bogor

Sidang PTUN Jakarta melawan KPU-RI, Ummi Wahyuni Mantan Ketua KPU Jawa Barat Hadirkan 3 Orang Ahli

Kamis, 29 Mei 2025 | 10:07 WIB
Dalam sidang di PTUN Jakarta dalam sidang perkara melawan KPU Pusat, Komisioner KPU Jabar Ummi Wahyuni menghadirkan tiga orang saksi

AYOBOGOR.COM -- Dalam sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dalam sidang perkara melawan KPU Pusat, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Barat Ummi Wahyuni menghadirkan tiga orang Ahli,

Hal itu, sehubungan dengan pemberhentian Ummi Wahyuni sebagai Ketua KPU Jawa Barat beberapa waktu yang lalu.

Tiga Ahli yang hadir di persidangan tersebut masing-masing di antaranya adalah pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, Jeirry Sumampouw mantan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Periode 2007-2009 dan Ketua Bawaslu RI Periode 2017-2022, Abhan.

Dalam persidangan Feri Amsari menjelaskan tentang konsep kelembagaan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang secara konstitusional tidak pernah disebutkan secara eksplisit di dalam UUD 1945, yang disebutkan adalah penyelenggaraan pemilu dilakukan oleh sebuah lembaga komisi pemilihan umum huruf kecil.

"Dalam aspek historis dan implementatif empirik memang banyak perdebatan soal DKPP. Jika merujuk pada Disertasi Zainal Arifin Mochtar yang membahas soal lembaga-lembaga negara independen, DKPP bukanlah lembaga utama seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif. DKPP adalah kuasi di antara tiga lembaga itu. Bisa disebut kuasi yudisial, bisa juga kuasi eksekutif. Tetapi bukanlah lembaga peradilan. Sebab di dalam Pasal 24 UUD 1945 jelas sekali ada dua puncak kekuasaan kehakiman, yakni Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA)," kata Fery Amsari, Rabu, 28 Mei 2025.

Baca Juga : APSAI Bakal Wujudkan Perusahaan di Kabupaten Bogor Jadi Sahabat Anak Indonesia

MA, terangnya hanya punya empat lingkungan peradilan, yakni peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer.

"Itu sebabnya karena konsisten dengan empat lingkungan peradilan ini, maka DKPP tidak termasuk dalam cantolan lingkungan empat peradilan dimaksud. Oleh karenanya, DKPP tidak boleh bertindak seperti lembaga peradilan," terang Fery Amsari.

Sifat final dan mengikat pada Putusan DKPP menimbulkan polemik di ruang publik, maka oleh MK lewat Putusan terhadap pengujian norma Pasal 458 ayat (13) UU Pemilu kemudian sifat final dan mengikat itu dimaknai oleh lembaga eksekutorial seperti Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota maupun Bawaslu.


Hal itu bisa disimak dalam Putusan PTUN Jakarta dalam kasus Evi Novida Ginting Manik bahwa final dan mengikat di situ kepada Presiden. Karena perkara yang saat ini diperiksa adalah KPU Provinsi, maka final dan mengikatnya berada pada KPU RI.

Ia mengatakan dengan tegas bahwa objek sengketa di dalam perkara ini sebenarnya sudah sangat jelas, yaitu Keputusan KPU yang menindaklanjuti Putusan DKPP itu sendiri.

"Dalam konteks penerapan hukum jika kita bersandar pada Putusan MK maupun Putusan PTUN sebelumnya, maka perdebatan soal peletakan objek sengketa sebenarnya sesuatu perdebatan yang sudah selesai. Dengan kata lain, tak perlu ada perdebatan lagi mengenai mana yang dijadikan sebagai objek sengketa dalam konteks perkara ini," katanya

Selain itu, DKPP dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya tidak dapat dibenarkan untuk menafsirkan suatu norma dalam konteks implementatif.

"Oleh sebab itu, jika seandainya ada dugaan kesalahan penerapan prosedur atau pedoman beraca oleh DKPP dalam menerima, memeriksa dan memutus pengaduan pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu, maka hal tersebut dapat diperiksa dan diuji oleh Pengadilan Tata Usaha Negara," tutur Feri Amsari.

Halaman:

Tags

Terkini