Penetapan PJ Wali Kota Bogor Pengganti Bima Arya Bisa Ngaret

photo author
- Kamis, 16 November 2023 | 11:06 WIB
Wali Kota Bogor Bima Arya menjadi salah satu pemohon gugatan UU Pilkada pada MK. (Dok Pemkot Bogor)
Wali Kota Bogor Bima Arya menjadi salah satu pemohon gugatan UU Pilkada pada MK. (Dok Pemkot Bogor)

AYOBOGOR.COM - Penetapan Penjabat (Pj) Wali Kota Bogor yang akan menggantikan posisi Bima Arya maupun wakilnya, Dedie A. Rachim selama masa pemilu bisa saja tertunda.

Ini tidak terlepas dari gugatan terhadap Pasal 201 ayat 5 Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang dilayangkan sejumlah kepala daerah, termasuk Bima Arya kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Undang-undang itu dinilai Bima Arya merugikan hak konstitusi para kepala daerah yang masa jabatannya tidak genap menjadi lima tahun sejak pelantikan karena harus berhenti pada 2023.

Selain Bima, gugatan itu secara bersamaan dilayangkan oleh wakilnya, Dedie, lalu mantan gubernur Maluku Murad Ismail, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak, Wali Kota Gorontalo Marten Taha, Wali Kota Padang Hendri Septa, dan Wali Kota Tarakan Khairul.

"Kami para kepala daerah yang Pilkadanya 2018 meminta kejelasan berakhirnya masa jabatan. Kami meminta MK memberikan tafsir konstitusional UU Pilkada Ayat 1 Pasal 205," kata Bima, Rabu, 15 November 2023, disadur dari Republika.

Pada Pasal 201 ayat 5 UU No 10/2016 itu dijelaskan para kepala dan wakil kepala daerah yang terpilih di Pilkada 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023.

Namun, para kepala daerah pemohon gugatan yang terpilih manakala itu harus dilantik pada tahun 2019 karena harus menyesuaikan masa jabatan lima tahun kepala daerah sebelumnya.

Contohnya Bima dengan Dedie. Pasangan itu baru dilantik pada 20 April 2019. Seharusnya masa bakti selama lima tahun berakhir pada 20 April 2024.

Artinya, bila Bima dan Dedie diberhentikan pada Desember 2023, maka masa jabatan keduanya terpotong selama empat bulan.

Menurut Bima, terdapat kekosongan norma pada pasal itu yang tidak jelas mengatur tentang akhir masa jabatan kepala daerah yang dipilih tahun 2018 dan baru dilantik pada 2019.

"Norma Pasal 201 Ayat 4 hanya mengatur rezim pemilihan kepala daerah dan tidak mengatur pelantikan kepala daerah," jelas Bima.

Di satu sisi, bila jabatan para pemohon gugatan digenapkan menjadi lima tahun setelah dilantik, itu tidak akan mengganggu penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024 pada November 2024.

Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK memberikan perlindungan hak konstitusionalnya. Selain itu, meminta agar pemerintah bisa menunda pemberhentian dan pelantikan penjabat kepala daerah yang menjadi pengganti.

"Kami berharap agar proses keputusan Yang Mulia Hakim Konstitusi bisa kami terima sebelum mendekati akhir tahun, karena Kemendagri akan memproses penunjukan nama pejabat kepala daerah," ujar Bima.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Ananda Muhammad Firdaus

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X